Polemik mengenai royalti lagu di Indonesia masih terus berlanjut. Dari komposer, penyanyi, hingga pengusaha, semua terlibat dalam perdebatan ini. Menariknya, bukan hanya lagu yang jadi sorotan, tetapi juga rekaman suara burung dan musik yang diputar saat resepsi pernikahan yang kini dikenakan kewajiban royalti sebesar 2 persen.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berupaya menyelesaikan masalah ini. Dia menegaskan bahwa aturan terkait royalti lagu akan diumumkan dalam waktu dekat. "Tunggu pengumuman sehari atau dua hari ini," ujarnya pada Selasa (19/8).

Politikus dari Partai Gerindra ini menilai bahwa kebijakan royalti yang ada saat ini sudah melampaui batas kewajaran. "Sebenarnya, royalti hak cipta itu seharusnya hanya untuk kepentingan penciptanya. Namun, penerapannya belakangan ini terasa tidak wajar," ungkap Dasco.

Selain itu, Dasco juga meminta masyarakat dan pelaku usaha untuk tidak khawatir memutar lagu. "Putar saja, nanti tunggu pengumuman sehari atau dua hari ini. Ada peraturan menteri yang sedang disiapkan, dan itu masih dalam batas wajar. Jadi, jangan takut untuk memutar lagu," tegasnya.

Lebih jauh, Dasco menjelaskan bahwa DPR juga sedang membahas revisi UU Hak Cipta sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan polemik royalti lagu. "Kementerian Hukum sudah menertibkan struktur dan komposisi LMKN, dan aturannya akan menunggu revisi UU Hak Cipta," tambahnya.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Haryadi Sukamdani, juga memberikan pandangannya. Ia menyatakan bahwa pengusaha tidak keberatan membayar royalti, namun menekankan perlunya kejelasan skema dan tarif yang diterapkan.

Haryadi Sukamdani menegaskan bahwa pengusaha hotel dan restoran tidak menolak untuk membayar royalti, tetapi mereka memerlukan kejelasan tentang tarif yang berlaku. Hal ini disampaikan setelah adanya kasus di Mataram, NTB, di mana hotel tiba-tiba ditagih royalti musik berdasarkan UU Hak Cipta yang berlaku.

"Banyak yang beranggapan bahwa pengusaha hotel dan restoran tidak mau bayar royalti, ini tidak benar. Prinsipnya PHRI mau bayar, asal ada kejelasan soal tarif," ujarnya dalam pernyataan resmi pada Kamis (14/8/2025).

Haryadi Sukamdani juga mengingatkan Pemerintah agar penetapan tarif royalti dilakukan secara transparan dan adil, bukan lagi dengan sistem "gelondongan" berdasarkan hitungan per meter persegi.

"Seharusnya Pemerintah hadir dalam penetapan tarif, dan tarif tersebut diterapkan melalui platform digital agar lebih transparan," ujarnya. 

PHRI percaya bahwa solusi untuk masalah royalti lagu terletak pada pemanfaatan platform digital yang transparan. Haryadi Sukamdani mengungkapkan kekecewaannya karena ada platform yang sudah bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

"Saya dengar LMKN sudah bekerja sama dengan platform digital, tetapi mengapa belum dimaksimalkan dengan baik?" keluhnya, menekankan bahwa sistem pembayaran yang adil dan transparan sangat diperlukan.