Brilio.net - Menjalani pendidikan hingga jenjang doktor jelas bukan perkara cepat. Biasanya, seseorang perlu menempuh studi S1 sekitar empat tahun, lalu melanjutkan ke S2 selama dua hingga tiga tahun sebelum akhirnya bisa menyandang gelar doktor. Tak heran kalau kebanyakan baru sampai di tahap itu saat usia mereka berkisar 40 tahun.

Berbeda dengan kisah Rizky Aflaha, wisudawan Program Doktor Fisika FMIPA UGM, yang sukses meraih gelar doktor di usia 25 tahun 10 bulan 1 hari. Ia diwisuda bersama 2.334 lulusan Program Pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Selasa (21/10).

Sebuah pencapaian luar biasa, mengingat rata-rata usia lulusan doktor di kampus ini mencapai 41 tahun lebih. Bagi Rizky, perjalanan menjadi doktor muda bukanlah hasil jalan pintas atau program akselerasi formal.

Ia menempuh rute yang berbeda — memanfaatkan peluang beasiswa PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul), jalur cepat yang memungkinkannya melanjutkan studi pascasarjana segera setelah lulus sarjana. Ia menyelesaikan studi S1 hanya dalam tujuh semester, kemudian melanjutkan ke magister selama satu tahun, dan doktor selama tiga tahun.

“Program magister hanya satu tahun dan doktor tiga tahun. Maka dari itu, saya dapat gelar lebih muda dibanding yang lain,” ujarnya sambil tersenyum, seperti dikutip brilio.net dari laman ugm.ac.id, Jumat (31/10). 

Namun di balik kesuksesannya, ada perjuangan yang tidak selalu mudah. Usia muda kadang menjadi tantangan tersendiri di dunia akademik yang sarat senioritas. Rizky sempat dianggap “anak bawang” di antara para peneliti berpengalaman.

“Awalnya sempat merasa dipandang sebelah mata karena masih muda. Sampai akhirnya perlahan-lahan aku mulai menunjukkan diri bahwa aku bisa dan alhamdulillah terhitung dari mulai studi doktor sampai hari ini sudah melahirkan 40 publikasi internasional, padahal syarat lulusnya hanya 2,” katanya dengan nada bangga tapi tetap rendah hati.

Produktivitas luar biasa itu tentu tidak lepas dari bimbingan para promotornya. Rizky tak segan memberikan apresiasi besar kepada Prof. Kuwat Triyana, Prof. Roto, dan Dr. Aditya Rianjanu — tiga sosok yang ia sebut sangat berperan dalam membentuknya sebagai peneliti muda.

“Beliau memberi arahan dari mulai hal-hal kecil, mulai dari membuat roadmap riset, desain riset, menulis jurnal internasional, sampai hal-hal seperti penyajian gambar yang bagus di jurnal,” tuturnya penuh rasa hormat.

Menariknya, meski berstatus doktor muda, Rizky bukan tipe mahasiswa yang terkunci di lab sepanjang waktu. Di luar aktivitas akademik, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan non-akademik. Waktu luangnya ia isi dengan olahraga, organisasi, dan petualangan di alam.

“Aku tidak bermain game online dan tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bermain sosmed sehingga aku mengalihkannya ke berbagai kegiatan, misalnya bulu tangkis, organisasi, dan naik gunung. Bahkan, sepertinya orang-orang di Jogja lebih mengenalku sebagai atlet bulu tangkis ketimbang mahasiswa doktor,” katanya sambil tertawa.

Kedisiplinan mengatur waktu menjadi salah satu kunci yang membuat Rizky mampu menyeimbangkan dunia akademik dan kehidupan sosialnya. Ia percaya, kemampuan mengelola waktu lebih penting daripada sekadar bekerja keras tanpa arah.

Kini, setelah menyandang gelar doktor di usia yang begitu muda, Rizky tidak ingin berhenti belajar. Ia berharap bisa terus mengembangkan risetnya dan menjadi inspirasi bagi generasi muda agar berani bermimpi besar.

“Kita hanya perlu percaya diri. Melalui percaya diri, kita akan banyak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas lebih jauh. Sebaliknya, seberbakat apapun kita, kalau tidak percaya diri, maka tidak akan kemana-kemana,” pungkasnya.