Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa banyaknya kasus keracunan massal yang dialami siswa setelah menikmati makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) diduga berasal dari satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). Menurut Dadan, masalah ini muncul karena SPPG tidak mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan.

"Kita bisa lihat bahwa kasus kejadian banyak terjadi di 2 bulan terakhir. Ini berkaitan dengan berbagai hal, dan kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang kita tetapkan tidak dipatuhi dengan seksama," ungkap Dadan dalam rapat Komisi IX DPR pada Rabu (1/10).

Dadan memberikan contoh bahwa pembelian bahan baku yang seharusnya dilakukan H-2, justru dilakukan H-4. Selain itu, proses memasak hingga pengiriman makanan ada yang memakan waktu lebih dari 6 jam, padahal seharusnya hanya 4 jam.

"Kita memberikan tindakan bagi SPPG yang tidak mengikuti SOP dan juga menimbulkan kegaduhan. Kita tutup sementara sampai semua proses perbaikan dilakukan," tegas Dadan.

Evaluasi Total SPPG

Dadan juga menyatakan bahwa ia telah memerintahkan SPPG untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait penyebab keracunan siswa. Lama penutupan SPPG akan bergantung pada hasil investigasi.

"Penutupan bersifat sementara dan waktunya tidak terbatas, tergantung dari seberapa cepat SPPG dapat melakukan penyesuaian diri dan menunggu hasil investigasi," pungkasnya.

Tanggapan Prabowo

Presiden Prabowo memberikan tanggapan mengenai maraknya kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai wilayah Indonesia. Ia menilai bahwa kasus ini hanya merupakan segelintir kekurangan dari program tersebut, yakni 0,0017 persen.

"Hingga saat ini, sudah hampir 30 juta penerima manfaat, termasuk anak-anak dan ibu hamil, yang setiap hari menerima makanan. Memang ada kekurangan dan keracunan, namun jika kita hitung dari semua makanan yang disajikan, penyimpangan tersebut hanya 0,0017 persen," jelas Prabowo di Munas VI PKS, Jakarta, pada Senin (29/9).

Walaupun persentase kekurangan tersebut terbilang kecil, Prabowo mengaku tidak merasa puas. Ia menekankan bahwa upaya ini merupakan langkah besar yang belum pernah dilakukan dalam sejarah dunia.

"Brazil membutuhkan 11 tahun untuk mencapai 47 juta penerima manfaat. Mereka bercerita kepada saya, sedangkan kita hanya dalam 11 bulan sudah mencapai 30 juta," tambahnya.

"Ada kekurangan, memang, tetapi manfaatnya sangat besar. Kita tidak bisa menduga, mungkin PKS di daerah merasakan hal ini, tetapi banyak elite Indonesia tidak menyadari bahwa anak-anak kita, rakyat kita, masih makan nasi dengan garam. Ini adalah bukti bahwa kita mampu memberikan sesuatu yang berarti," tutupnya.