Brilio.net - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluapkan kemarahannya saat menghadiri acara “Nganjang ka Rakyat” di Desa Sukamandijaya, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Rabu (28/5). Emosi Dedi tersulut ketika sekelompok orang membentangkan spanduk penolakan terhadap rencana penjualan klub sepak bola Persikas Subang, lengkap dengan teriakan yel-yel yang mengganggu jalannya kegiatan.

"Turunkan spanduknya, jangan sok jago di situ kamu. Gak mikir kamu! Ini bukan forum Persikas, ini forum saya dengan rakyat, mikir kamu, punya otak kamu! Ngaku anak muda, ngaku berpendidikan, gak punya otak!" kata Dedi dengan suara lantang, sebagaimana terekam dalam sebuah video yang beredar di media sosial dan dikutip Kamis (29/5).

Setelah video insiden tersebut viral, Dedi memberikan klarifikasi melalui akun Instagram miliknya. Ia menjelaskan bahwa kemarahannya bukan disebabkan oleh kritik yang disampaikan, melainkan oleh cara penyampaiannya yang dinilai tidak sopan dan tidak pada tempatnya.

“Saya malam itu marah, karena ada sekelompok orang yang tidak memiliki adab dalam hidupnya,” ujarnya.

Dedi menuturkan bahwa saat itu ia sedang mendengarkan keluhan warga miskin. Salah satu yang menyentuh hatinya adalah kisah seorang ibu yang membesarkan empat anak hanya dengan mengais botol bekas, sementara suaminya menikah lagi. Namun, momen haru tersebut terganggu oleh teriakan penyelamatan klub sepak bola.

“Di saat air mata jatuh karena rasa empati pada derita seorang ibu yang memiliki empat anak dan membiayai mereka hanya dengan memungut botol-botol bekas, tetapi anaknya bisa tumbuh dengan baik, suaminya menikah lagi dengan orang lain. Ini berteriak yel-yel untuk menyelamatkan Persikas karena klubnya berpindah tempat, dibeli oleh pihak lain,” terang Dedi.

Ia menilai tindakan sekelompok orang itu sebagai bentuk ketidaksopanan dan kurang empati. Menurutnya, mereka lebih mementingkan ego daripada memahami penderitaan rakyat yang hadir dalam acara tersebut.

“Sikap ini adalah sikap yang tidak beradab... mengabaikan fakta derita yang dihadapi oleh warga di hadapan matanya,” tegas Dedi.

Menanggapi kemungkinan dirinya dinilai emosional akibat insiden itu, Dedi menyatakan tidak mempermasalahkan persepsi publik. Ia menilai framing semacam itu sebagai hal yang tak penting untuk dipikirkan.

“Tentunya kemarahan saya akan di-framing menjadi pemimpin yang emosional dan dibawa ke mana-mana. Bagi saya itu tidak penting,” ucapnya.

Dedi menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa ia lebih memilih untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya adab dan empati ketimbang menjaga citra diri. “Mendidik rakyat bagi saya jauh lebih penting dari sekadar memikirkan popularitas dan elektabilitas,” pungkasnya.