TikTok baru-baru ini mengajukan permohonan agar platform digital yang berbasis konten buatan pengguna, atau yang lebih dikenal dengan istilah user generated content (UGC), tidak diatur dalam kerangka penyiaran konvensional. Permintaan ini disampaikan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

"Tidak dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional," tegas Hilmi Adrianto, selaku Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI pada Selasa (15/7).

Menurut TikTok, penting untuk menjaga agar UGC tidak diatur dengan cara yang sama untuk menghindari ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pengguna dan kreator konten. "Kami merekomendasikan agar platform UGC tetap diatur dalam kerangka moderasi yang telah ada di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Digital," tambahnya.

Lebih lanjut, TikTok juga menekankan bahwa pendekatan regulasi yang menyasar satu untuk semua—baik itu penyiaran konvensional, layanan over the top (OTT), maupun platform UGC—dapat menimbulkan masalah. "Masing-masing memiliki model bisnis dan kerangka tata kelola konten yang berbeda secara fundamental," ungkap Hilmi.

 

Minta Aturan Terpisah

TikTok minta regulasi media sosial terpisah dari penyiaran, antisipasi agar kreator tidak dirugikan

foto: Freepik.com

Dari segi model bisnis dan pengguna, Hilmi menjelaskan bahwa lembaga penyiaran konvensional berfokus pada konsumsi pasif dengan akses terbatas pada produser konten profesional dan pemegang lisensi.

"Di lembaga penyiaran tradisional, jumlah konten yang tersedia terbatas, terjadwal, dan telah melalui proses kurasi. Ini memungkinkan moderasi konten dilakukan secara kuratif, karena semua materi dapat ditinjau, diedit, dan disetujui sebelum disiarkan ke publik," ujarnya.

"Kami bersedia untuk diatur, namun seperti yang telah kami sampaikan, sebaiknya aturan tersebut terpisah dari penyiaran," tutup Hilmi.