Harga minyak mentah melonjak 2% di tengah ancaman surplus

Harga minyak mentah mengalami lonjakan lebih dari 2% pada perdagangan hari Jumat. Kenaikan ini terjadi karena para investor mulai mempertimbangkan ketatnya pasar minyak mentah dibandingkan dengan potensi surplus besar yang diproyeksikan oleh International Energy Agency (IEA) tahun ini.

Sementara itu, tarif yang diterapkan oleh AS dan kemungkinan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia menjadi perhatian utama para investor saat ini.

Menurut laporan dari CNBC pada Sabtu (12/7/2025), harga minyak mentah berjangka Brent naik sebesar USD 1,72 atau 2,51%, ditutup pada USD 70,36 per barel. Di sisi lain, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga mengalami kenaikan, yaitu USD 1,88 atau 2,82%, menjadi USD 68,45 per barel.

Dengan kondisi tersebut, Brent diperkirakan akan mengalami kenaikan sekitar 1,6% dalam minggu ini, sementara WTI naik sekitar 0,6% dibandingkan penutupan minggu lalu.

IEA menyampaikan bahwa pasar minyak global mungkin lebih ketat dari yang terlihat, dengan permintaan yang didorong oleh puncak operasional kilang di musim panas untuk memenuhi kebutuhan perjalanan dan pembangkit listrik.

Kontrak Brent untuk bulan September diperdagangkan dengan premi USD 1,11 terhadap kontrak berjangka Oktober.

"Warga sipil, baik yang bepergian menggunakan pesawat maupun kendaraan pribadi, menunjukkan keinginan yang kuat untuk liburan," ungkap analis PVM, John Evans, dalam catatan pada hari Jumat.

IEA juga meningkatkan proyeksi pertumbuhan pasokan tahun ini, namun memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan, yang menunjukkan adanya kemungkinan surplus di pasar.

"OPEC+ akan segera dan secara signifikan meningkatkan pasokan minyak. Ada ancaman kelebihan pasokan yang signifikan. Namun, dalam jangka pendek, harga minyak tetap terdukung," tambah analis Commerzbank dalam catatan mereka.

Produksi Rusia

Ilustrasi by AI

Menambah dukungan terhadap prospek jangka pendek, Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, mengungkapkan bahwa Rusia akan mengkompensasi kelebihan produksi terhadap kuota OPEC+ pada bulan Agustus-September.

Tanda lain dari permintaan minyak yang kuat terlihat dari prospek Arab Saudi yang berencana mengirimkan sekitar 51 juta barel minyak mentah ke Tiongkok pada bulan Agustus, yang merupakan pengiriman terbesar dalam lebih dari dua tahun.

Namun, dalam jangka panjang, lembaga peramalan saingan OPEC memangkas proyeksi permintaan minyak global untuk tahun 2026 menjadi 2029, akibat melambatnya permintaan dari China, seperti yang dinyatakan dalam Prospek Minyak Dunia 2025 yang diterbitkan pada hari Kamis.

Kedua kontrak berjangka acuan mengalami penurunan lebih dari 2% pada hari Kamis, karena investor khawatir tentang dampak kebijakan tarif Trump yang terus berkembang terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan minyak.

"Harga telah pulih dari penurunan ini setelah Presiden Trump menyatakan rencananya untuk membuat pernyataan besar tentang Rusia pada hari Senin. Hal ini dapat membuat pasar khawatir tentang potensi sanksi lebih lanjut terhadap Rusia," tulis analis ING dalam catatan klien mereka.

Pembatasan Harga

Ilustrasi by AI

Trump telah menyatakan frustrasinya terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena kurangnya kemajuan dalam perdamaian dengan Ukraina dan meningkatnya serangan Rusia terhadap kota-kota Ukraina.

Komisi Eropa berencana untuk mengusulkan pembatasan harga minyak mengambang untuk Rusia minggu ini sebagai bagian dari rancangan paket sanksi baru, namun Rusia menyatakan bahwa mereka memiliki "pengalaman yang baik" dalam mengatasi dan meminimalkan tantangan tersebut.