Brilio.net - Buat yang tinggal di Jawa, nama Rabu Wekasan pasti udah nggak asing lagi. Tapi meskipun sering terdengar, nggak semua orang ngerti detailnya. Tradisi ini sebenarnya bagian dari warisan budaya Islam yang udah turun-temurun, penuh nilai spiritual sekaligus sosial.
Banyak yang kepo, sebenernya apa sih Rabu Wekasan itu? Tradisi ini punya akar sejarah panjang, bahkan jadi bagian dari kearifan lokal yang dipercaya bisa jadi pengingat spiritual. Bukan sekadar rutinitas tahunan, tapi juga punya makna mendalam bagi umat Islam di Jawa.
Ritualnya sendiri biasanya beragam, mulai dari doa bersama, pengajian, sampai amalan tertentu yang dipercaya bisa jadi perlindungan diri. Pandangan ulama pun beragam, ada yang menekankan makna spiritualnya, ada juga yang mengingatkan biar jangan sampai terjebak ke hal-hal yang menjurus ke mistis.
Intinya, memahami Rabu Wekasan bukan cuma nambah wawasan soal tradisi, tapi juga bikin lebih dekat sama nilai budaya yang udah dijaga leluhur sejak lama. Dirangkum brilio.net dari berbagai sumber pada Selasa (19/8), berikut ulasang lengkap tentang Rabu Wekasan.
Pengertian Rabu Wekasan
foto: Shutterstock.com
Rabu Wekasan atau sering juga disebut Rebo Wekasan dan Rebo Pungkasan adalah tradisi yang masih dijalani sebagian umat Islam di Jawa. Momen ini jatuh pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Secara harfiah, “Rabu” artinya ya hari Rabu, sedangkan “Wekasan” berarti terakhir. Jadi gampangnya, Rabu Wekasan = Rabu terakhir di bulan Safar.
Tradisi ini dianggap spesial karena dipercaya sebagai hari turunnya bala atau musibah ke dunia. Keyakinan tersebut berakar dari sebuah hadis riwayat Abu Hurairah yang menyebutkan ada 320 ribu bala diturunkan Allah di hari itu. Meski hadis ini dinilai dha’if (lemah) oleh banyak ulama, tradisi ini tetap dilestarikan sebagai bentuk ikhtiar doa agar terhindar dari bahaya.
Ritual yang biasanya dilakukan di Rabu Wekasan cukup beragam, mulai dari doa tolak bala, sholat sunnah, sampai sedekah. Walaupun bukan bagian dari ajaran Islam murni, kepercayaan masyarakat terhadap hari ini udah jadi bagian dari budaya yang sulit dipisahkan.
Rabu Wekasan sendiri bisa dibilang simbol pertemuan antara Islam dan budaya Jawa, melahirkan tradisi unik yang sarat makna spiritual sekaligus sosial.
Sejarah Rabu Wekasan
foto: Shutterstock.com
Sejarah Rabu Wekasan nggak bisa dipisahin dari perjalanan panjang penyebaran Islam di Jawa. Waktu Islam mulai masuk ke pulau ini, para ulama nggak cuma ngenalin ajaran agama, tapi juga nyelarasinya sama budaya lokal. Dari situlah lahir berbagai tradisi bernuansa Islami, termasuk Rabu Wekasan. Besar kemungkinan, tradisi ini muncul sebagai cara ulama zaman dulu menjaga nilai keagamaan di tengah masyarakat yang saat itu masih kental sama animisme dan dinamisme.
Dalam catatan sejarah budaya, Rabu Wekasan sering dikaitin sama masa-masa berat yang dialamin masyarakat Jawa di masa lalu. Bencana alam, penyakit menular, sampai kesulitan hidup sering dianggap sebagai ujian dari Tuhan. Dari situ, muncul berbagai ritual dan doa sebagai bentuk permohonan perlindungan. Rabu Wekasan jadi salah satu warisan tradisi yang lahir dari keyakinan tersebut.
Nggak cuma itu, penyebaran ajaran tarekat di Jawa juga ikut nyambung sama tradisi ini. Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah misalnya, dipercaya punya peran penting dalam menyebarkan Rabu Wekasan lewat kegiatan pengajian dan zikir bersama. Dari situ, tradisi ini makin dikenal dan akhirnya diterima masyarakat luas di berbagai daerah.
Meskipun nggak ada catatan pasti kapan tradisi Rabu Wekasan pertama kali muncul, tapi diperkirakan udah berlangsung ratusan tahun. Sampai sekarang, sebagian masyarakat Jawa masih melestarikannya, meski bentuk pelaksanaannya makin fleksibel dan disesuaikan dengan zaman.
Ritual dan perhitungan Rabu Wekasan
foto: Shutterstock.com
Pada momen Rabu Wekasan, ada sejumlah ritual yang biasa dijalani masyarakat Jawa. Salah satunya adalah shalat sunnah khusus yang sering disebut Shalat Rabu Wekasan. Shalat ini biasanya dua rakaat, tapi di beberapa daerah ada juga yang ngerjain empat rakaat. Tujuannya jelas: memohon perlindungan dari segala macam bala atau musibah yang diyakini turun pada hari itu. Setelah shalat, biasanya dilanjutkan dengan doa-doa khusus penolak bala.
Selain shalat, ada juga tradisi sedekah. Bentuknya bisa macam-macam, mulai dari makanan, uang, sampai barang-barang kebutuhan lain yang kemudian dibagiin ke orang yang membutuhkan. Keyakinannya, sedekah di hari Rabu Wekasan bisa jadi tameng dari malapetaka. Tradisi ini juga nunjukin betapa kuatnya nilai sosial masyarakat Jawa, di mana gotong royong dan berbagi selalu dijaga.
Yang menarik, penentuan hari Rabu Wekasan juga punya caranya sendiri. Ada yang pake kalender Hijriyah buat ngitung Rabu terakhir bulan Safar, tapi ada juga yang ngikutin hitungan tradisional warisan nenek moyang. Buat sebagian orang, keakuratan perhitungan ini penting banget karena dianggap berpengaruh pada keberkahan ritual.
Nggak cuma itu, ziarah kubur juga jadi bagian dari rangkaian tradisi. Biasanya masyarakat berkunjung ke makam leluhur atau tokoh yang dianggap punya karomah (kekuatan spiritual), sambil mendoakan mereka. Selain jadi bentuk penghormatan, ziarah ini juga ngingetin bahwa hidup di dunia nggak abadi, dan hubungan dengan sesama—baik yang hidup maupun yang sudah tiada—tetap penting dijaga.
Pandangan ulama tentang tradisi Rabu Wekasan
foto: Shutterstock.com
Tradisi Rabu Wekasan ternyata jadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ada yang oke-oke aja, ada juga yang menolak mentah-mentah.
Buat ulama tradisional, Rabu Wekasan nggak masalah selama nggak ada unsur syirik atau hal-hal yang nyimpang dari ajaran Islam. Menurut mereka, tradisi ini bisa dilihat sebagai bentuk ikhtiar lewat doa dan usaha supaya dijauhkan dari bala.
Tapi, beda cerita dengan ulama modern atau reformis. Mereka cenderung menolak karena menilai tradisi ini nggak punya dasar kuat dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Menurut pandangan ini, amalan yang sebaiknya diprioritaskan adalah yang jelas-jelas diajarkan Rasulullah SAW, seperti shalat, puasa, dan sedekah. Jadi, Rabu Wekasan dianggap sebagai bid’ah alias inovasi yang nggak perlu dipertahankan.
Meski begitu, banyak juga ulama yang ambil jalan tengah. Selama niatnya baik dan tradisi ini dijalani tanpa keyakinan berlebihan, maka Rabu Wekasan masih bisa diterima sebagai bagian dari kearifan lokal. Pesannya jelas: jangan sampai niat menjaga tradisi malah bikin melenceng dari ajaran Islam.
Perbedaan pandangan ini nunjukin kalau Rabu Wekasan bukan hal yang bisa dilihat hitam-putih. Di satu sisi ada nilai budaya dan spiritual, di sisi lain ada dorongan untuk tetap lurus pada ajaran Islam. Intinya, niat baik dan cara bijak dalam menjalani tradisi ini jadi kunci utamanya.
FAQ yang Banyak Dicari Orang
1. Rabu Wekasan jatuh pada tanggal berapa?
Rabu Wekasan biasanya jatuh di hari Rabu terakhir bulan Safar (kalender Hijriah). Tahun 2025, perhitungannya ada di akhir bulan Safar sekitar Februari.
2. Kenapa Rabu Wekasan dianggap hari naas?
Sebagian masyarakat percaya kalau di hari itu banyak bala atau musibah turun ke bumi. Karena itu, banyak yang melakukan amalan khusus untuk memohon perlindungan.
3. Apa saja amalan yang biasa dilakukan di Rabu Wekasan?
Amalan yang umum dilakukan seperti membaca doa tolak bala, sholat sunnah, pengajian, dan sedekah. Tujuannya biar mendapat perlindungan dari Allah.
4. Bagaimana pandangan ulama tentang Rabu Wekasan?
Ada ulama yang melihatnya sebagai bagian dari budaya Islam Jawa yang positif jika diisi doa dan sedekah. Tapi ada juga yang menegaskan bahwa anggapan hari sial sebaiknya tidak diyakini secara mutlak, melainkan dijadikan momentum memperbanyak ibadah.
Recommended By Editor
- 100 Kata-kata inspiratif dari tokoh Islam terkenal yang menyentuh hati
- Jadwal puasa tasua dan asyura 2025, lengkap dengan niat dan keutamaannya
- Bagaimana sih atlet tarkam Bekasi atasi nyeri otot cuma pakai minyak urut herbal? Ternyata ini triknya
- Puasa asyura 2025, ini keutamaan, niat, dan tata cara lengkapnya
- 10 Keutamaan bulan Safar beserta daftar amalan sunah yang dianjurkan
- Doa minum susu 1 Muharram 2025, amalan, sejarah, dan hikmah di balik tradisi awal tahun Hijriah





