Brilio.net - Menjadi tulang punggung keluarga di era sekarang bukan hanya soal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tekanan ekonomi, beban psikologis, hingga ketidakpastian masa depan menjadi tantangan tersendiri, terlebih bagi mereka yang tinggal di kota dengan tingkat upah minimum regional (UMR) yang relatif rendah.

Di Yogyakarta, UMR tahun 2025 hanya berkisar Rp2.264.080,95, salah satu yang paling rendah di Indonesia. Bagi sebagian orang, angka ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, tempat tinggal, apalagi jika memiliki keluarga. Meski demikian, tak sedikit masyarakat yang harus bertahan hidup dalam realitas tersebut, termasuk mereka yang berprofesi sebagai pekerja lepas (freelancer).

Ade (30), seorang lulusan sarjana dari Yogyakarta, saat ini bekerja sebagai freelancer dan telah menikah. Meski belum memiliki anak, ia menyandang status sebagai kepala rumah tangga. Bukan hanya status sosial, tapi tanggung jawab penuh sebagai pengatur ritme keuangan dan keseimbangan emosi di rumah.

“Aku freelancer. Seringnya kerja dari rumah. Tapi penghasilannya naik turun, kadang ada proyek, kadang enggak sama sekali,” kata Ade saat diwawancarai brilio.net pada Kamis (26/5).

Tekanan Psikologis dan Ketidakpastian Finansial

struggle kepala keluarga © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Bekerja lepas memang memberikan keleluasaan waktu dan tempat, tetapi tidak dengan jaminan kestabilan. Ade mengakui bahwa dalam sebulan, ia bisa mendapat proyek dengan bayaran yang lumayan. Namun di bulan lainnya, ia harus bergantung pada tabungan sisa atau bahkan bantuan dari keluarga.

“Beban mentalnya itu karena aku kepala rumah tangga, harus mikirin kebutuhan rumah, listrik, makan, dan masa depan. Meskipun belum punya anak, tetap kerasa beratnya,” ungkapnya.

Tekanan menjadi lebih kompleks ketika pekerjaan bersifat tidak tetap. Dalam konteks global, Harvard Business Review mengungkapkan bahwa pekerja freelance memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pekerja tetap, terutama karena pendapatan yang tidak pasti, minimnya jaminan kesehatan, dan tekanan sosial sebagai penyedia utama dalam rumah tangga.

UMR Rendah Tak Cukup untuk Hidup Layak

struggle kepala keluarga © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Realita hidup di Yogyakarta menampar banyak keluarga muda. Meskipun UMR ditetapkan pemerintah, kebutuhan sehari-hari tidak mengikuti logika angka tersebut. Berdasarkan data dari laman Numbeo (2024), estimasi biaya hidup satu orang dewasa tanpa sewa hunian di Yogyakarta mencapai Rp3.000.000–Rp4.000.000. Artinya, UMR hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan dasar.

Ade tidak tinggal di rumah kontrakan atau kos. Ia dan istri memilih tinggal bersama orang tua karena keputusan itu jauh lebih masuk akal secara ekonomi.

“Aku dan istri masih tinggal di rumah orang tua, karena kalau ngekos atau ngontrak sendiri belum sanggup. Kadang harus pilih, mau bayar cicilan laptop buat kerja atau buat belanja dapur,” tuturnya.

Situasi ini membuatnya harus benar-benar cermat dalam mengelola keuangan rumah tangga, bahkan sebelum bicara soal tabungan atau investasi masa depan. Untuk Ade, hari ini saja harus dituntaskan dengan strategi bertahan hidup.

Antara Idealisme dan Tanggung Jawab

struggle kepala keluarga © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Sebagai lulusan perguruan tinggi, Ade pernah berharap bisa bekerja di sektor formal—kantor dengan gaji bulanan, tunjangan tetap, dan jenjang karier yang jelas. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa lowongan yang sesuai sangat terbatas, dan gaji yang ditawarkan justru lebih kecil dari peluang proyek freelance yang tak pasti datangnya.

“Sebenarnya pengin kerja kantoran, tapi lowongan di Jogja itu sedikit banget, dan gajinya malah lebih kecil dari proyek freelance yang kadang aku dapat. Tapi proyek itu enggak pasti datangnya,” jelasnya.

Fenomena ini menggambarkan dilema antara mengejar passion dan tuntutan realitas. Menurut laporan World Bank, banyak lulusan universitas di Indonesia yang tidak bekerja di sektor sesuai latar belakang pendidikannya. Sebagian besar akhirnya bekerja di sektor informal, termasuk freelance, tanpa perlindungan jangka panjang.

Bagi Ade, passion bukan lagi satu-satunya pertimbangan. Stabilitas, keberlangsungan, dan tanggung jawab menjadi faktor yang mendominasi keputusan kerja hari ini.

Tanggung Jawab Tanpa Tanggungan Anak pun Tak Ringan

struggle kepala keluarga © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Meski belum memiliki anak, Ade mengaku tekanan batin dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga tidak lantas menjadi ringan. Ketika pasangan lain terlihat sudah mampu memiliki rumah atau kendaraan, Ade masih bergulat dengan biaya listrik, cicilan alat kerja, hingga kebutuhan dapur harian.

Ada perasaan tertinggal, meski ia tahu setiap orang punya garis waktu masing-masing. Namun perasaan bersalah kepada istri yang harus ikut berhemat dan menahan keinginan, tak selalu bisa ditepis.

“Kalau ditanya mau punya anak? Mau banget. Tapi jujur, sekarang belum siap. Bukan soal mental aja, tapi lebih ke finansial. Gimana mau nyiapin biaya lahiran, imunisasi, susu, kalau kebutuhan sehari-hari aja masih ngos-ngosan,” kata Ade.

Menemukan Harapan di Tengah Keterbatasan

struggle kepala keluarga © 2025 berbagai sumber

foto: Shutterstock.com

Meski penuh tekanan, Ade tetap menjalani perannya dengan kesadaran penuh. Ia mulai membuka peluang jasa desain secara daring, membangun portofolio, dan menjaga relasi agar proyek terus berdatangan. Ia juga mulai tertarik mengikuti kelas daring gratis untuk menambah skill, terutama yang berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan.

Harapan tidak selalu datang dalam bentuk besar. Bagi Ade, satu proyek baru bisa berarti sebulan tenang. Satu klien puas bisa membuka pintu baru. Satu hari bebas dari overthinking sudah cukup untuk tersenyum.

Cerita Ade bukanlah kisah yang berdiri sendiri. Ia mewakili ribuan bahkan jutaan kepala rumah tangga muda di Indonesia yang memilih atau terpaksa bekerja di sektor informal. Di tengah realitas UMR yang tidak sesuai biaya hidup, dibutuhkan kebijakan yang lebih ramah terhadap pekerja informal: jaminan sosial, akses kredit tanpa agunan, subsidi rumah, hingga pelatihan keterampilan digital.

Negara tak bisa terus-menerus berharap rakyatnya berjuang sendiri. Karena di balik setiap Ade, ada keluarga yang ikut menanggung beban diam-diam. Dan di balik satu freelancer, tersimpan potensi besar yang bisa tumbuh—asal diberi ruang dan sistem yang berpihak.