Greenpeace menyambut baik langkah pemerintah yang telah mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) yang aktif di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Namun, mereka tetap mendesak agar pemerintah melindungi seluruh ekosistem Raja Ampat secara penuh dan permanen dengan mencabut semua izin pertambangan, baik yang aktif maupun yang tidak aktif.

Kiki Taufik, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, menyatakan dia sangat menghargai keputusan pemerintah, namun pihaknya tetap menunggu surat resmi agar bisa diakses publik.

"Kami mengapresiasi keputusan ini, tetapi kami menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah yang bisa diakses publik," ujarnya dikutip brilio.net dari liputan6.com, Selasa (10/6).

Taufik menekankan pentingnya perlindungan penuh untuk ekosistem Raja Ampat, mengingat ada preseden di mana izin yang sudah dicabut bisa diterbitkan kembali akibat gugatan dari perusahaan.

desak cabut izin semua tambang nikel © 2025 berbagai sumber

foto: YouTube/Greenpeace Indonesia

Greenpeace juga mengajak masyarakat untuk aktif mengawasi langkah pemerintah dalam merestorasi wilayah yang telah dirusak oleh aktivitas pertambangan, agar dapat kembali berfungsi secara ekologis.

Selain itu, mereka mendesak pemerintah untuk menangani konflik sosial yang muncul akibat keberadaan tambang dan memastikan keselamatan masyarakat yang menolak tambang nikel di kawasan tersebut.

Pemerintah telah mencabut izin dari empat perusahaan, yaitu PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham, yang beroperasi di Pulau Kawe, Manuran, Manyaifun, Batang Pele, dan Waigeo.

Namun, Taufik mengingatkan bahwa kerusakan akibat izin tambang nikel tidak hanya terjadi di Raja Ampat, tetapi juga di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia timur, yang mengancam kehidupan masyarakat adat dan lokal. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang tersebut sangat diperlukan.

desak cabut izin semua tambang nikel © 2025 berbagai sumber

foto: Instagram/@mufti.anam

Mufti Anam, anggota Komisi VI DPR RI, juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi sistem penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) agar tidak melanggar aturan yang ada. Ia menekankan bahwa kejadian di Raja Ampat seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak sembarangan menerbitkan izin tambang, yang dapat merusak ekosistem dan mengancam masa depan masyarakat.

Mufti menegaskan bahwa Raja Ampat adalah kawasan konservasi dan pariwisata kelas dunia, bukan zona industri ekstraktif. "Kita tidak boleh menggadaikan alam yang akan menjadi modal kehidupan masa depan," ujarnya.