Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah video dirinya memanggul karung beras saat meninjau korban banjir di Sumatera viral di media sosial. Dalam video tersebut, Zulhas menegaskan bahwa aksinya bukanlah sebuah pencitraan, melainkan merupakan bagian dari kebiasaan hidup yang telah ia jalani sejak kecil.
"Saya sudah terbiasa melakukan ini sejak kecil, berkat ajaran ibu saya yang selalu menekankan pentingnya berbagi," ungkap Zulhas dalam acara Arah Bisnis 2026: Menuju Kedaulatan Ekonomi di Jakarta. Ia mengenang pesan mendiang ibunya yang selalu mengingatkannya untuk membantu sesama setiap hari.
BACA JUGA :
Zita Anjani komentari tumpukan kayu di lokasi banjir Sumatera, reaksi kagetnya jadi sorotan
"Ibu saya almarhum selalu bilang, setiap hari harus memberi bantuan," tambahnya.
Prinsip ini telah membentuk cara pandangnya hingga saat ini, di mana ia percaya bahwa ukuran kebermanfaatan seseorang tidak terletak pada jabatan, tetapi pada kesediaannya untuk membantu orang lain, baik dalam keadaan sulit maupun tidak.
Bagi-Bagi Beras Jadi Rutinitas
Zulhas melanjutkan bahwa aktivitas berbagi bukanlah hal baru baginya. Sejak usia enam tahun, ia sudah terbiasa membagikan beras kepada orang-orang di sekitarnya. Saat melakukan kunjungan kerja ke daerah, ia hampir selalu membawa beras kemasan 5 kilogram untuk dibagikan kepada warga yang ia temui.
BACA JUGA :
Video wawancara soal kerusakan Tesso Nilo kembali viral, Zulkifli Hasan ngaku 'dijebak' Harrison Ford
"Setiap kali saya ke daerah, saya selalu bagi-bagi beras. Bisa 500 hingga 1000 karung, masing-masing 5 kilogram," katanya. Selain beras, ia juga selalu membawa uang tunai yang biasanya habis dibagikan setelah kegiatan.
"Dulu saya sempat dihujat karena memberi uang, bahkan sampai viral di Najwa Shihab," ujarnya sambil tersenyum.
Tanggapi Hujatan dengan Santai
Menanggapi hujatan yang muncul akibat video viral tersebut, Zulhas mengaku tidak terlalu memikirkan komentar negatif. Ia menyadari bahwa ini bukan kali pertama aksinya berbagi menuai kritik. Ia bahkan sering menjadikan ejekan sebagai bahan candaan.
"Ketika dua ibu-ibu menyapa saya saat berolahraga dan menyinggung soal saya tidak memanggul karung beras, saya jawab dengan humor bahwa saya sedang mengumpulkan tenaga karena kelelahan menggotong beras," ceritanya.
"Saya bilang, mau ngatain saya enggak ada masalah, yang penting kita harus bantu saudara-saudara kita yang ada di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara," pungkasnya.
Swasembada Pangan Kunci Kedaulatan
Sebelumnya, Zulhas juga menekankan bahwa swasembada pangan adalah kunci kedaulatan. Jika Indonesia mampu mencapai swasembada pangan, maka sepertiga masalah di tanah air dapat teratasi, termasuk masalah kemiskinan.
"Tidak ada negara maju yang menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor. Kemandirian pangan adalah prasyarat utama bagi kekuatan ekonomi dan stabilitas nasional," jelasnya. Ia menekankan bahwa swasembada pangan harus dimaknai sebagai kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan pokok rakyat dari produksi dalam negeri.
Tantangan Biaya Produksi Pangan
Zulhas juga mengungkapkan tantangan lain, yaitu tingginya biaya produksi pangan di dalam negeri. Untuk menghasilkan 1 kilogram beras, ongkos produksi di Indonesia mencapai sekitar Rp 13.000, jauh lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam yang hanya sekitar Rp 4.000 per kilogram. Hal ini membuat harga pangan domestik sulit bersaing.
"Situasi serupa juga terjadi pada komoditas gula. Kita membutuhkan biaya Rp 13.000 hingga Rp 15.000 per kilogram, sementara Thailand hanya sekitar Rp 3.000. Perbedaan ongkos produksi yang sangat besar ini membuat kita sulit keluar dari jerat impor dan ketergantungan pasokan luar negeri," tutupnya.