Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) sedang membahas sepuluh nama calon Pahlawan Nasional untuk tahun 2025. Nama-nama ini diusulkan dari berbagai daerah dan lembaga.
Di antara nama-nama tersebut, terdapat mantan Presiden kedua RI, Soeharto, yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Tengah (Jateng), serta Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Timur (Jatim). Ini adalah pengajuan ulang dari tahun-tahun sebelumnya.
BACA JUGA :
Apa kabar bocah yang pernah tanya Soeharto 'Kenapa presiden cuma 1'? Begini nasibnya sekarang
Pengajuan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukanlah hal baru. Setiap kali muncul, usulan ini selalu memicu perdebatan di ruang publik, mengingat warisan pemerintahannya yang kompleks dan penuh dinamika.
Rekam jejaknya selama memimpin negara dianggap memiliki catatan kritis, sehingga dinilai tidak layak sebagai Pahlawan Nasional. Namun, banyak pihak yang berpendapat bahwa Soeharto layak mendapatkan gelar tersebut karena jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menjelaskan bahwa proses pengusulan nama Soeharto sudah melalui tahapan panjang, dimulai dari masukan masyarakat.
BACA JUGA :
Digelar intim dengan adat Jawa, 6 potret pernikahan anak Ari Sigit jadi momen kumpul keluarga Cendana
"Masukan dari masyarakat lewat seminar dan lain sebagainya. Setelah seminar selesai, ada sejarawan, tokoh-tokoh setempat, dan narasumber lain yang berkaitan dengan tokoh yang diusulkan jadi Pahlawan Nasional," ujar Mensos setelah menghadiri halalbihalal di Jakarta.
Jika usulan diterima oleh bupati/wali kota, maka akan disampaikan kepada gubernur. "Setelah itu, prosesnya naik ke atas, ke gubernur. Ada seminar lagi, setelahnya baru ke kami," katanya.
Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial akan membentuk tim untuk memproses semua usulan nama Pahlawan Nasional. "Timnya terdiri dari berbagai pihak, termasuk akademisi, sejarawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat," jelasnya.
Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar menilai pengusulan Soeharto perlu dilihat secara objektif dan komprehensif. Dari sisi pembangunan, Soeharto memang memiliki kontribusi besar, namun kontroversi yang menyertainya juga tidak bisa diabaikan.
"Jadi, kalau dalam proses historis, Soeharto memang banyak jasanya untuk kemajuan Indonesia, tapi juga banyak kontroversi. Ini akan menjadi bahan diskusi menarik di tim pembahas," kata Tiar.
Ia menambahkan bahwa berbagai kebijakan Soeharto selama masa Orde Baru memiliki dampak jangka panjang yang masih dirasakan hingga kini, seperti oligarki dan kebutuhan ekonomi yang ada saat ini.
Selain itu, jejak militerisme yang kuat selama masa Orde Baru juga menjadi catatan kritis dalam pengajuan gelar pahlawan tersebut. "Militerisme pada masa Soeharto menjadi masalah yang cukup mengganjal untuk menjadikannya Pahlawan Nasional," imbuhnya.
"Sejarawan berpendapat bahwa Soeharto adalah pemimpin biasa yang memiliki kontribusi, tetapi juga banyak kebijakan keliru. Jadi, bukan extraordinary," lanjutnya.
Meskipun demikian, Tiar menegaskan bahwa pengajuan gelar pahlawan untuk Soeharto tidak akan melalui proses instan. Mekanisme pengajuan ini melibatkan banyak tahapan dan perdebatan, baik di tingkat daerah maupun pusat.
"Bagi pengusul, mereka harus membuat argumentasi untuk menunjukkan bahwa Soeharto layak menjadi pahlawan," ujarnya.
Proses pengajuan dimulai dari tingkat kabupaten sebagai pengusul awal. Jika disetujui, usulan akan dibawa ke tingkat provinsi untuk dibahas lebih lanjut di pusat.
Pengamat Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman menilai Soeharto memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional, namun penetapan gelar tersebut tetap bergantung pada keputusan politik di tingkat pusat.
"Pahlawan Nasional adalah keputusan politik, jadi meskipun kajian bagus, keputusan tetap di tangan Presiden melalui Kementerian Sosial," ujar Dedi.
Ia menambahkan bahwa Soeharto memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan RI, khususnya dalam Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat.
Namun, Dedi juga mengakui bahwa usulan ini mungkin menimbulkan penolakan, terutama dari masyarakat sipil yang mengkritisi pelanggaran HAM dan praktik KKN di masa Orde Baru.
"Usulan ini pastinya banyak mengundang kontroversi, terkait dosa-dosa Pak Harto selama 32 tahun berkuasa," ungkapnya.
Meskipun secara teknis Soeharto dinilai layak, Dedi menyarankan agar pengusulan ini ditunda, mengingat isu-isu kontroversinya yang masih hangat.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berharap pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional mempertimbangkan masukan publik. "Kita serahkan pada kementerian terkait," ujarnya.
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Golkar Hetifah Sjaifudian mendukung pengusulan Soeharto, sementara Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menilai tidak ada yang salah dengan usulan tersebut.
"Mantan-mantan presiden wajar mendapatkan penghormatan atas jasa-jasanya," kata Prasetyo.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengajak semua pihak untuk melakukan dialog terbuka terkait pengusulan Soeharto. "Kita perlu dialog untuk menemukan titik temu," ujarnya.
Dalam proses pengusulan, Kementerian Sosial memastikan bahwa semua nama yang diusulkan memiliki peluang yang setara untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Daftar 10 nama calon Pahlawan Nasional 2025 mencakup beberapa tokoh, termasuk Soeharto dan Gus Dur. Proses pengusulan ini dibatasi hingga 11 April 2025, dan setelah verifikasi, rekomendasi akan disampaikan kepada Presiden untuk dipilih.
Dalam refleksi sejarah kepahlawanan, Nelson Mandela diakui sebagai Pahlawan Nasional di Afrika Selatan. PBB menetapkan 18 Juli sebagai Nelson Mandela International Day untuk mengenang warisannya.