Brilio.net - Drama Korea Resident Playbook, merupakan drama yang menceritakan empat orang dokter residen tahun pertama, yang harus struggle bekerja di rumah sakit fiksi bernama Yulje. Dalam drama tersebut, tahun pertama sebagai dokter residen tidak hanya menuntut kompetensi medis yang tinggi, tetapi juga ketahanan mental yang luar biasa.
Cerita ini merefleksikan kenyataan pahit yang sering dihadapi para fresh graduate saat pertama kali menginjakkan kaki di dunia kerja. Tak hanya soal keahlian teknis atau IPK tinggi, tapi juga soal adaptasi, emosi, dan interaksi sosial yang kadang tak diajarkan di bangku kuliah.
Situasi tersebut tidak jauh berbeda dari pengalaman banyak anak muda di Indonesia yang baru lulus dan mulai bekerja. Mereka dihadapkan dengan dinamika kerja yang kerap tidak sesuai ekspektasi, tekanan dari atasan, hingga konflik interpersonal yang membuat kelelahan mental tak terhindarkan. Maka, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya bekal paling realistis yang harus dimiliki para lulusan baru?
Untuk menjawab hal tersebut, brilio.net menemui dua wanita yang sudah lebih dulu bergelut di dunia kerja. Mereka memberikan sedikit skill 'receh' yang bisa terpakai oleh fresh graduate untuk menghadapi dinamika kerja.
foto: Dok. Rizka Miftakhul Khoiri
Balqis Fallahnda dan Rizka Mifta Keduanya menyuarakan hal serupa: ada banyak hal kecil—yang sering dianggap receh—justru punya peran besar dalam membentuk daya tahan mental dan emosional selama bekerja.
Menariknya, perspektif mereka menunjukkan bahwa dunia kerja tidak hanya menguji intelektualitas, tetapi juga kematangan emosi, kepekaan sosial, serta kemampuan menyikapi konflik dengan bijak.
Lebih dari Sekadar Nilai Akademis, Dunia Kerja Butuh Kecerdasan Emosional
foto: Shutterstock.com
Banyak lulusan baru masih membawa harapan bahwa nilai akademis yang tinggi adalah tiket emas untuk sukses. Balqis mengakui bahwa kecerdasan tetap membantu.
“Jika Anda pintar secara umum pekerjaan akan lebih mudah dituntaskan. Daya serap dan tangkap cepat sangat krusial dalam pekerjaan apapun,” ungkapnya kepada brilio.net, Selasa (21/5).
Namun menurut Rizka, pintar saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional. Sebab konflik dalam pekerjaan sangat beragam dan akan selalu ada. Hal itulah yang menuntut setiap orang untuk berkembang dan belajar banyak hal.
“Pintar itu nggak cukup menjadi modal. Tapi juga harus cerdas dalam kerjasama, bersosialisasi, bersikap, pengertian sama tim lain, dan yang penting cerdas secara emosional juga,” jelasnya.
Skill "Receh" yang Ternyata Krusial
foto: Shutterstock.com
Tidak ada kampus yang secara eksplisit mengajarkan "cara nggak baper" atau "menyikapi gosip kantor dengan bijak." Tapi dua hal itu ternyata jadi kunci bertahan di dunia kerja. Kamu nggak bisa mengontrol orang untuk tidak membicarakanmu. Alih-alih selau menanggapi, Balqis mending memilih memasang sikap “no hurt feelings” sebagai hal penting dalam membangun daya tahan.
“Tanamkan saja pada diri kalau masalah pasti berlalu,” ujarnya. Dalam dunia kerja yang penuh tekanan, kemampuan untuk tidak membawa segala sesuatu ke hati menjadi kunci menjaga energi tetap positif.
Sementara itu, Rizka punya filosofi yang ia sebut dengan prinsip “yaudah dan merasa cukup.” Baginya, kemampuan untuk membatasi diri dari urusan yang bukan tanggung jawab pribadi sangat penting agar tidak mudah lelah secara mental.
“Nggak harus semua kita urusin… karena semua itu sudah ada porsinya,” katanya tegas.
Pandangan ini didukung oleh riset dari University of California, Berkeley, yang menunjukkan bahwa batasan emosional adalah strategi efektif untuk menghindari kelelahan kerja (burnout). Menetapkan batas pada beban psikologis, terutama dari ekspektasi sosial dan lingkungan kerja, terbukti mampu meningkatkan kepuasan kerja.
Hal ini selaras dengan temuan Harvard Business Review yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) berkontribusi sebesar 90% terhadap kesuksesan dalam posisi profesional, terutama pada level manajerial ke atas. EQ mencakup kemampuan memahami diri, mengatur emosi, dan memahami orang lain secara mendalam.
Empati Tanpa Gimmick, Kunci Bangun Relasi Sehat di Kantor
foto: Shutterstock.com
Satu aspek lain yang berulang kali disebut dalam wawancara adalah pentingnya bersikap empatik. Namun, empati yang dimaksud bukanlah sikap manis berlebihan yang berujung dinilai "sok baik."
Balqis menekankan pentingnya ketulusan. Tanpa perlu memikiran cara menunjukkan rasa empati, menjadi apa adanya malah lebih baik dan terlihat lebih natural.
“Jika memang kita berempati terhadap teman, tindakan itu secara natural akan keluar tanpa harus mikir ‘caranya’. Ketulusan kita juga pasti akan dirasakan,” ungkapnya.
Sedangkan bagi Rizka, skill mendengar jauh lebih penting dibanding berbicara. “Menurutku partner dari kemampuan berbicara yang baik adalah kemampuan mendengar yang baik, kalau nggak gitu yang ada cuma debat tanpa solusi. Jadi menurutku orang yang ahli dalam mendengar itu cerdas banget,” katanya.
Ini sejalan dengan data dari Forbes yang menunjukkan bahwa active listening adalah salah satu dari 10 soft skill paling dicari oleh perusahaan global pada tahun 2024. Karyawan yang bisa mendengar dengan baik dianggap memiliki potensi kepemimpinan dan kolaborasi tinggi.
Strategi Dewasa Menyikapi Konflik dan Omongan Negatif
foto: Shutterstock.com
Tak dapat dimungkiri, dunia kerja adalah ladang subur untuk konflik dan gosip. Cara menghadapi situasi tersebut menentukan seberapa kuat seseorang bisa bertahan. Balqis memilih untuk membedakan antara kritik personal dan fitnah.
“Aku memilih tidak menggubris kalau yang dikritik adalah kepribadianku… Tapi, aku bakal langsung konfrontasi siapa saja yang memfitnah,” ujarnya tegas.
Rizka lebih memilih jalur diplomatis dan introspektif. Strategi ini menunjukkan kematangan emosional yang berperan penting dalam mempertahankan profesionalitas tanpa harus mengorbankan kesehatan mental.
“Kalau bisa ke orangnya langsung akan aku sampaikan… Tapi jangan tutup telinga juga sih, perlu introspeksi diri kenapa bisa muncul rumor miring,” jelasnya.
Bekal Nyata untuk Fresh Graduate, Realistis, Nggak Baperan, dan 'Stay Excited'
foto: Shutterstock.com
Apa yang dikatakan Balqis dan Rizka menegaskan bahwa skill utama fresh graduate untuk bertahan di dunia kerja bukanlah sekadar kompetensi teknis atau status akademik. Justru, hal-hal yang sering dianggap receh—seperti tidak mudah tersinggung, tahu kapan harus diam, terbiasa mendengar, dan mampu menjaga emosi—menjadi pondasi penting untuk berkembang secara profesional.
Sebagai penutup, Rizka menyampaikan pesan mendalam untuk para lulusan baru: "Teruslah deg-degan dan excited. Jangan diem aja, harus sambil gerak dengan ikut kelas atau pelatihan sebanyak-banyaknya. Karena harus diakui sekarang cari kerjaan juga nggak mudah."
Dalam dunia kerja yang semakin kompleks, mungkin justru hal-hal sederhana—yang jujur, empatik, dan emosional—yang akan membuat seseorang tetap relevan, tahan banting, dan tumbuh secara berkelanjutan.
Recommended By Editor
- 5 Rutinitas ini sepele tapi serang imun, IDI & Sido Muncul beri alasan kenapa obat herbal solusinya
- Tak harus kerja kantoran, ini 5 pilihan karier lulusan baru yang fleksibel tapi bergaji tinggi
- Bukan cuma kata nenek, bidan juga setuju pentingnya jamu terstandar pasca persalinan
- Tak harus langsung kerja, ini 7 alternatif pilihan untuk mahasiswa usai selesaikan pendidikan
- Membahas problem nyata anak muda, Festival MudaBerdaya ajak pemuda upgrade kualitas diri
- Ini alasan mengapa anak muda wajib punya growth mindset
- 9 Tips jago public speaking, bikin kamu tambah pede di segala kondisi







