Pacu Jalur adalah lomba mendayung perahu kayu tradisional yang berasal dari Riau. Belakangan ini, acara ini menjadi tren di media sosial, bahkan viral berkat aksi Rayyan Arkan Dikha, seorang bocah 11 tahun yang menari di ujung perahu dengan gerakan yang enerjik dan memukau.
Gerakan khasnya yang spontan membuat banyak orang terpesona, dan tak sedikit yang mencoba menirunya di media sosial, hingga menjadi fenomena yang dikenal dengan istilah aura farming.
Namun, viralnya Pacu Jalur juga memicu klaim dari warganet Malaysia yang menganggap tradisi ini sebagai budaya mereka, yang membuat jagat maya riuh. Tradisi ini sendiri sudah ada sejak abad ke-17 dan menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, menurut situs resmi Pemerintah Kota Jalur.
Pacu Jalur telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda nasional. Menteri Kebudayaan Fadli Zon memastikan bahwa tradisi ini sudah terdaftar sebagai warisan budaya takbenda nasional sejak tahun 2015.
Dengan viralnya Pacu Jalur, Kemenbud berencana mengajukan tradisi ini sebagai Warisan Budaya TakBenda dunia ke UNESCO. Namun, proses ini tidak bisa cepat karena ada antrean pengajuan dari setiap negara.
"Kita harus menunggu antrean karena setiap negara dibatasi pengajuannya. Tapi kita siapkan segala persyaratan yang harus dipenuhi secara komprehensif," jelas Fadli Zon. Dia juga menambahkan bahwa tarian yang ditampilkan saat perahu melaju sangat ekspresif dan atraktif.
Menbud Fadli Zon mengapresiasi semua pihak yang mempromosikan kekayaan budaya Nusantara kepada dunia, termasuk melalui media sosial. Bupati Kuansing, Suhardiman Amby, berharap usulan ini bisa membuat Pacu Jalur semakin dikenal dan berdampak positif bagi ekonomi dan budaya masyarakat Kuansing.
Festival Pacu Jalur di tahun ini, yang akan diadakan pada bulan Agustus, diharapkan dapat menarik perhatian wisatawan. Tahun lalu, festival ini diikuti oleh 225 peserta dengan hadiah total mencapai Rp215 juta.
Festival Pacu Jalur sudah ada sejak masa kolonial Belanda, dimulai pada tahun 1890 untuk merayakan hari lahir Ratu Wilhelmina. Setelah kemerdekaan, festival ini berkembang untuk merayakan HUT RI dan hari-hari besar umat Islam.
Setiap lomba dimulai dengan letupan meriam karbit sebagai aba-aba bagi peserta. Setiap jalur yang berlomba diawaki oleh beberapa peran penting dan membutuhkan biaya hingga Rp100 juta per unit, yang didanai oleh masyarakat Kuansing, menunjukkan semangat gotong royong yang kuat.
Recommended By Editor
- Selamat, pantun resmi ditetapkan jadi Warisan Takbenda Dunia UNESCO
- UNESCO minta proyek pembangunan di TN Komodo dihentikan
- Bappenas dukung Geopark Banyuwangi masuk jaringan global UNESCO
- 5 Potret sumur yang misterius banget, dulunya tempat ritual rahasia
- Cukup 5 menit si kecil jadi suka sarapan cuma berbekal sereal? Ini ceritanya
- Duh! Situs warisan dunia UNESCO berusia 2000 tahun rusak dilindas truk
- 8 Warisan dunia dari Indonesia ini diakui UNESCO, apa aja ya?
















































