Brilio.net - Di era sosial media dan gaya hidup yang cepat ini, istilah seperti self-love dan self-obsessed makin sering muncul, terutama di kalangan Gen Z. Meski keduanya terdengar mirip, mencintai diri sendiri, tapi sejatinya ada perbedaan yang cukup besar dan penting untuk dipahami supaya kita bisa mencintai diri dengan sehat tanpa terjebak ke sisi yang justru merugikan.
Apa itu self-love?
Menurut penjelasan dari artikel di The Central Times, self-love adalah saat kamu percaya diri dan rendah hati tentang hal itu. Kamu mengenali kelebihanmu tanpa merendahkan orang lain.
Secara sederhana, self-love adalah sikap mencintai dan menerima diri secara sehat, menerima kekurangan sendiri, merawat kesehatan fisik dan mental, serta melakukan tindakan yang baik untuk diri sendiri.
Beberapa ciri self-love:
1. Menerima diri apa adanya, termasuk kekurangan.
2. Memprioritaskan tindakan yang menyehatkan untuk diri (tidur cukup, makan sehat, atur stres).
3. Memiliki empati terhadap diri sendiri dan orang lain, artinya mencintai diri bukan berarti mengabaikan orang lain.
Apa itu self obsessed?
Penelitian dari situs WEQIP menyatakan bahwa self-obsessed terjadi ketika seseorang terlalu terfokus pada keyakinannya sendiri, motivasi sendiri, kebahagiaan dan kepentingannya tanpa mempertimbangkan atau menghargai orang lain.
Dengan kata lain, self-obsessed adalah kondisi di mana mencintai diri sendiri berubah menjadi egosentris, hanya mementingkan citra, perhatian, atau validasi dari orang lain, hingga menyulitkan hubungan dan kesejahteraan mentalnya.
Ciri-ciri self-obsessed:
1. Fokus utama pada bagaimana orang melihat kita, bukan bagaimana kita merasa.
2. Sulit menerima kritik atau kekurangan karena ingin selalu tampak sempurna.
3. Empati terhadap orang lain menurun, hubungan menjadi lebih ego‑sentris.
Perbedaan self-love vs self-obsessed
foto: Freepik.com
Perbedaan antara self-love dan self-obsessed cukup jelas. Self-love fokus pada kesejahteraan diri dan hubungan yang sehat, sedangkan self-obsessed lebih menekankan pada citra, perhatian, dan validasi dari orang lain. Dalam berinteraksi, orang yang self-love biasanya tetap empati dan menjaga koneksi yang sehat dengan orang lain, sementara yang self-obsessed cenderung egois dan lebih memikirkan diri sendiri.
Dampaknya pun berbeda, self-love memberi manfaat positif bagi kesehatan mental dan fisik, sedangkan self-obsessed bisa memicu stres, isolasi, dan hubungan yang terganggu. Contohnya, orang yang self-love bisa menjaga batasan, merawat diri, dan tetap peduli pada orang lain, sementara yang self-obsessed sering mengunggah segala sesuatu demi likes tanpa memperhatikan perasaan orang sekitar.
Kenapa ini hits di kalangan Gen Z?
Gen Z tumbuh di era media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat, di mana penampilan, jumlah followers, dan likes sering dijadikan ukuran keberhasilan atau populer. Menurut Time, saat ini self-love memang sedang menjadi tren di kalangan anak muda, namun jika salah arah atau terlalu berfokus pada citra diri, self-love bisa berubah menjadi self-obsession yang justru memicu stres, kecemasan, dan rasa kesepian.
Karena itu, sangat penting bagi Gen Z untuk memahami batasan antara self-love dan self-obsessed. Dengan memahami perbedaan ini, mereka bisa ikut tren self-love dengan cara yang sehat, tetap percaya diri, dan menikmati hidup tanpa terjebak pada tekanan sosial atau perbandingan terus-menerus. Praktik self-love yang benar tidak hanya membuat diri lebih bahagia, tetapi juga membantu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, sehingga kesejahteraan mental dan fisik tetap terjaga.
Tips praktis untuk Gen Z: jadi self-love, bukan self-obsessed
1. Kenali diri sendiri
Mulailah dengan memahami siapa dirimu sebenarnya, termasuk kekuatan dan kelemahan yang kamu miliki. Dengan mengenali diri, kamu bisa lebih percaya diri, tahu apa yang ingin dicapai, dan mengambil keputusan yang tepat tanpa terlalu terpengaruh orang lain.
2. Batasi media sosial
Media sosial bisa jadi tempat inspirasi, tapi juga bisa membuatmu merasa kurang atau selalu membandingkan diri dengan orang lain. Batasi penggunaan media sosial jika mulai terasa membebani mentalmu. Ingat, self-love sejati bukan tentang likes atau komentar positif, tapi bagaimana kamu merasa nyaman dan bahagia dengan dirimu sendiri.
3. Fokus pada proses
Jangan hanya terpaku pada hasil atau popularitas. Nikmati proses tumbuh dan berkembang, belajar dari pengalaman, dan rayakan setiap kemajuan kecil. Self-love berarti kamu memberi ruang untuk diri sendiri berkembang, bukan sekadar mencari pengakuan dari orang lain.
4. Rawat hubungan dengan orang lain
Mencintai diri sendiri bukan berarti egois atau hanya memikirkan kepentingan diri. Tetap peduli dan jaga hubungan dengan teman, keluarga, atau orang sekitar. Dengan begitu, self-love bisa memberi dampak positif tidak hanya untuk dirimu, tapi juga bagi orang lain.
5. Terima kekurangan diri
Setiap orang punya kelemahan, dan itu wajar. Daripada menutupinya demi image sempurna, gunakan kekuranganmu sebagai bahan belajar dan pengembangan diri. Menerima diri sepenuhnya termasuk kekurangan adalah kunci agar self-love benar-benar terasa dan membawa kebahagiaan.
Penulis: Magang/Aji Setyawan
Recommended By Editor
- Mau jaga stamina biar tak drop di jam rawan? Madurasa Jahe Merah Lemon kini tersedia di Indomaret
- 100 Kata-kata motivasi sukses singkat yang bikin Gen Z giat kejar mimpi, hari-hari jadi antimager
- 100 Kata-kata gombalan gen Z paling nyeleneh tapi romantis, dijamin ketawa campur baper
- 100 Kata sedih estetik 2025, menyentuh, bikin baper, dan cocok buat caption Instagram atau TikTok
- Pasangan Gen Z ini pilih nikah di KUA tanpa resepsi, habis sah tancap gas ngopi santai di cafe
- Audisi Asmara Gen Z di Jakarta, unjuk bakat langsung di depan Harry Vaughan & Aqeela Calista!
- Begini kalau Gen Z jadi guru, 11 catatan nilai di lembar jawaban ujian ini bikin murid senyum kecut

















































