Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, baru saja mengungkapkan bahwa hingga akhir Maret 2025, total utang pemerintah telah mencapai angka fantastis, yaitu Rp 250 triliun. Angka ini mencakup sekitar 40,6% dari total target pembiayaan utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun.
Jika kita bandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, lonjakan ini cukup mencolok. Pada kuartal pertama tahun 2024, realisasi utang hanya mencapai Rp 85,6 triliun. Ini berarti ada peningkatan sekitar 34,3%, yang menunjukkan bahwa pemerintah mengambil langkah strategis untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
BACA JUGA :
THR PNS daerah belum cair, Sri Mulyani beri penjelasan
Sri Mulyani menjelaskan bahwa lonjakan ini bukan disebabkan oleh tekanan fiskal, melainkan hasil dari strategi yang disebut front loading. Ini adalah pendekatan di mana pemerintah menarik pembiayaan utang lebih awal dari biasanya, sebagai langkah antisipasi terhadap potensi guncangan ekonomi global.
"Kalau kita melakukan front loading, bukan karena kita tidak punya duit. Ini adalah strategi penerbitan surat utang kita untuk mengantisipasi ketidakpastian yang pasti akan membuat kenaikan," ujar Sri Mulyani dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI di Jakarta Selatan.
Dia juga menambahkan bahwa keputusan ini diambil untuk meminimalkan risiko di tengah meningkatnya ketidakpastian global, termasuk potensi disrupsi pasar akibat perubahan suku bunga oleh Federal Reserve Amerika Serikat, yang bisa berdampak pada stabilitas pasar keuangan domestik.
BACA JUGA :
Teka-teki Sri Mulyani mundur dari Kabinet Prabowo terungkap lewat klarifikasi Istana
Defisit APBN Mencapai Rp 104 Triliun
Menteri Keuangan mencatat bahwa realisasi APBN 2025 di era Presiden Prabowo mengalami defisit sebesar Rp 104,2 triliun per 31 Maret 2025. Angka ini mencerminkan sekitar 16,9 persen dari total defisit yang ditargetkan sepanjang tahun, yaitu Rp 616,2 triliun.
Meskipun demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa angka tersebut masih dalam batas wajar dan aman, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 62 Tahun 2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025 yang telah disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat di angka 2,53 persen.
"2,53 persen itu artinya defisit Rp 616 triliun," tambahnya dalam acara yang sama.
Pendapatan Negara Belum Optimal
Defisit APBN ini sebagian besar berasal dari sisi pendapatan negara, di mana realisasi hingga akhir Maret 2025 baru mencapai Rp 516,1 triliun, atau sekitar 17,2 persen dari target tahunan sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Kontribusi terbesar berasal dari sektor perpajakan, yaitu sebesar Rp 400,1 triliun, yang baru memenuhi 16,1 persen dari target penerimaan perpajakan yang ditetapkan sebesar Rp 2.490,9 triliun.
Penerimaan perpajakan terdiri dari dua komponen utama. Pertama, penerimaan dari sektor pajak yang mencapai Rp 322,6 triliun, atau 14,7 persen dari target tahunan Rp 2.189,3 triliun. Kedua, penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai sebesar Rp 77,5 triliun, yang menunjukkan kinerja cukup baik dengan capaian 25,7 persen dari target Rp 301,6 triliun.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memberikan kontribusi sebesar Rp 115,9 triliun, atau 22,6 persen dari target tahunan sebesar Rp 513,6 triliun. Realisasi yang cukup tinggi ini menjadi salah satu penopang utama pendapatan negara di kuartal pertama tahun ini.