Alasan Istana tak permasalahkan Wakil Menteri rangkap jabatan di BUMN
  1. Home
  2. Ā»
  3. Serius
4 Juni 2025 11:16

Alasan Istana tak permasalahkan Wakil Menteri rangkap jabatan di BUMN

Putusan MK Nomor 80/2019 izinkan wakil menteri rangkap jabatan. Editor
foto: Liputan6.com/Lizsa Egeham

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah KonstitusiĀ (MK) Nomor 80 tahun 2019 tidak melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kata lain, wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih yang juga menjabat sebagai Komisaris di BUMN tidak melanggar aturan yang ada.

"Sampai saat ini, dalam putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi yang melarang hal tersebut. Itu sudah jelas. Memang ada pertimbangan yang menyebutkan hal itu, tetapi dalam putusan resminya tidak ada," ungkap Hasan di Kantor PCO Jakarta Pusat pada Selasa (3/6).

BACA JUGA :
Tepis keluhan lapangan kerja minim, Menteri Bahlil: Jangan kufur nikmat


"Jadi, apa yang dilakukan saat ini tidak melanggar putusan MK. Ini tidak bertentangan dengan keputusan MK," tambahnya.

Namun, Hasan juga membuka kemungkinan bagi pihak-pihak yang ingin menggugat masalah ini ke MK. Dia menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak konstitusional untuk melakukannya.

"Jika ada yang ingin menggugat, silakan. Itu adalah hak konstitusional warga. Namun, keputusan yang diambil minggu lalu tidak melanggar aturan apapun," jelasnya.

BACA JUGA :
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebut ada 6,2 juta lapangan kerja akan tercipta hingga 2030

Larangan rangkap jabatan di BUMN hanya berlaku untuk posisi tertentu seperti Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) dan Menteri Sekretaris Negara. Sementara itu, wakil menteri diizinkan untuk merangkap jabatan sesuai dengan putusan MK.

"Karena dalam putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada pernyataan yang melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan," tegas Hasan Nasbi.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Roringkon, mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi, meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.

Juhaidy merasa dirugikan hak konstitusionalnya dan menguji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara, yang hanya mengatur larangan rangkap jabatan bagi menteri, sementara tidak ada aturan serupa untuk wakil menteri.

Pasal 23 UU Kementerian Negara berbunyi: "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."

Menurut Juhaidy, saat ini terdapat enam wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN. Padahal, wakil menteri merupakan bagian integral dari kepemimpinan kementerian yang tidak dapat dipisahkan dari menteri.

Juhaidy mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan bahwa wakil menteri seharusnya dilarang merangkap jabatan, sama seperti menteri.

Dalam pertimbangan hukum tersebut, MK menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri adalah hak prerogatif Presiden, sama halnya dengan menteri. Oleh karena itu, wakil menteri harus memiliki status yang sama dengan menteri, sehingga larangan rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara juga berlaku bagi wakil menteri. Namun, MK memutuskan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

Juhaidy juga menekankan bahwa norma tersebut perlu diatur dalam undang-undang agar mengikat semua pihak. Melalui permohonan yang terdaftar dengan Nomor 21/PUU-XXIII/2025, dia meminta MK untuk menambahkan frasa "wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.

Dengan demikian, dia berharap pasal tersebut dapat diubah menjadi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."

Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 telah digelar di MK, Jakarta, pada Selasa (22/4). Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya hingga 5 Mei 2025.

Source: liputan6.com / Muhammad Ali
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang dengan bantuan Artificial Intelligence dengan pemeriksaan dan kurasi oleh Editorial.

SHARE NOW
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags