Brilio.net - Pas pertama kali mencoba AI (Artificial Intelligence) seperti ChatGPT, ada rasa kagum yang bikin takjub. Tinggal ketik pertanyaan yang spesifik, jawaban langsung muncul dengan seketika. Nggak hanya buat asisten, teknologi AI bahkan bisa membuat lagu, musik, dan bahkan video.
Nah, salah satu yang lagi ramai dibicarakan belakangan ini adalah Google Veo. Ini bukan AI generatif biasa. Veo bisa bikin video sinematik hanya dari prompt teks. Iya, cuma dari sebuah prompt deskripsi!
BACA JUGA :
Heboh aplikasi World App, bayar Rp800.000 untuk scan retina, kenali risiko bahayanya
Tapi ada hal yang nggak kelihatan. Di balik satu prompt sederhana tadi, ada ribuan server menyala, ratusan liter air menguap, dan kilowatt listrik yang menyambar-nyambar. Mesin pintar seperti ChatGPT ternyata doyan banget sumber daya. Nggak main-main haus listriknya. Bahkan bisa bikin satu negara kecil minder kalau disuruh adu konsumsi listrik.
Kecanggihan ini memang mengagumkan. Tapi jadi pertanyaan besar juga: kok bisa satu chat singkat menyedot energi segila itu? Yuk, bareng brilio.net Kamis (29/5) bongkar satu-satu cara kerja si otak digital ini.
Apa yang Terjadi Saat Kamu Mengetik Prompt ke ChatGPT?
Begitu teks diketik dan tombol enter ditekan, proses kompleks langsung dimulai di balik layar. Server yang berada di pusat data (data center) menerima input dan mulai memproses kata demi kata menggunakan model bahasa besar (Large Language Model atau LLM). Model ini, seperti GPT-4, telah dilatih sebelumnya menggunakan triliunan kata dari seluruh penjuru internet.
BACA JUGA :
Viral gorengan sandal jepit bikin heboh, ini fakta sebenarnya di balik video yang bikin melongo
Input yang masuk akan diubah menjadi angka ini disebut sebagai token. Token ini bukan uang digital, tapi representasi kata atau frasa yang bisa dipahami oleh sistem. Setelah itu, jaringan saraf buatan (neural network) mengolah token tersebut, menebak apa kemungkinan kata berikutnya berdasarkan pola-pola yang pernah dipelajari.
Seluruh proses ini berlangsung dalam hitungan milidetik, tapi pekerjaan di belakangnya berat. Ribuan chip GPU bekerja serempak untuk melakukan miliaran kalkulasi. Makin panjang dan kompleks jawabannya, makin besar beban pemrosesan yang harus ditanggung. Dan semua kalkulasi itu tentu semuanya haus listrik
ChatGPT dan Konsumsi Energi yang Bikin Melongo
Banyak yang mungkin belum sadar, tapi aktivitas seperti mengirim satu prompt ke ChatGPT bisa punya jejak karbon yang cukup besar. Misalnya, untuk menghasilkan satu email 100 kata, diperlukan sekitar 0,14 kWh listrik. Angka ini cukup untuk menyalakan 14 lampu LED selama satu jam seperti dilansir brilio.net dari riset terbaru Washington Post.
Bayangin kalau dalam sehari ada 285,7 juta prompt yang diproses. Itu berarti ChatGPT butuh sekitar 39,98 juta kWh per hari. Angka ini setara dengan mengisi daya 8 juta ponsel pintar.
Belum selesai. Selain listrik, AI juga haus air. Kenapa? Karena server butuh pendinginan. Tanpa sistem pendingin yang efisien, perangkat bisa overheat dan rusak.
foto: istimewa
Untuk mendinginkan server tersebut, diperkirakan ChatGPT menggunakan sekitar 39,16 juta galon air per hari atau sekitar 148,28 juta liter. Angka ini lebih dari cukup untuk mengisi kolam renang olimpiade sebanyak 59 kali dalam sehari. Satu prompt sederhana sepanjang 100 kata saja bisa menguapkan sekitar 519 mililiter air atau kurang lebih satu botol air minum ukuran standar.
Dari Mana Listriknya Datang?
Untuk memenuhi kebutuhan listrik segila ini, berbagai negara punya pendekatan masing-masing. Amerika Serikat, yang jadi markas beberapa pusat data terbesar, banyak bergantung pada kombinasi energi gas alam, nuklir, dan energi terbarukan seperti angin dan surya.
Menurut data dari U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2023 sekitar 60% listrik di AS masih berasal dari bahan bakar fosil, tapi proporsi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin terus meningkat setiap tahun.
foto: Shutterstock.com
Negara-negara seperti Islandia dan Norwegia bahkan lebih ideal, karena listrik mereka sebagian besar berasal dari energi hidro dan geothermal yang tentunya lebih ramah lingkungan.
International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa kurang lebih dari 90% listrik di Islandia berasal dari pembangkit tenaga air dan panas bumi, menjadikan negara ini salah satu yang paling bersih secara jejak karbon di sektor energi.
Namun tidak semua negara seberuntung itu. Masih banyak juga negara yang mengandalkan energi batu bara ataupun sumber fosil lainnya sebagai tulang punggung pembangkit listriknya.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, ketersediaan sumber daya alam, serta faktor ekonomi yang membuat transisi ke energi terbarukan berjalan lebih lambat.