Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkapkan bahwa PT Pertamina Patra Niaga telah melakukan praktik impor minyak mentah RON 90 (Pertalite) yang kemudian dioplos menjadi RON 92 (Pertamax) selama periode 2018 hingga 2023. Menurut informasi yang disampaikan, kegiatan impor ini telah terjadi ribuan kali dalam rentang waktu tersebut.
"Banyak sekali, saya tidak bisa menyebutkan satu per satu, karena jumlahnya mencapai ribuan kali selama lima tahun," ungkap Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, saat konferensi pers pada Rabu, (26/2).
BACA JUGA :
Kejagung selidiki dugaan korupsi sertifikat pagar laut
Kejagung menjelaskan bahwa Pertamina membeli minyak mentah jenis RON 92, tetapi yang diterima adalah BBM jenis RON 90. Akibatnya, minyak ini dioplos menjadi BBM jenis Pertamax. Namun, Kejagung masih enggan untuk mengungkapkan dari mana asal minyak mentah tersebut diimpor.
"Nanti akan saya sampaikan lebih lanjut," tambahnya.
Dalam perkembangan terbaru, Kejagung juga telah menetapkan dua tersangka baru terkait kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan kilang minyak PT Pertamina Persero, Subcon, dan KKKS untuk periode 2018-2023. Dengan demikian, total tersangka yang terlibat dalam kasus ini mencapai sembilan orang.
BACA JUGA :
Sama seperti Harvey Moeis, eks Dirut PT Timah Mochtar Riza juga dihukum 20 tahun penjara
Sejumlah pejabat ditetapkan tersangka
Dua tersangka baru yang ditetapkan berinisial MK, yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, serta EC, yang merupakan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga. Dari kasus ini, kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp193,7 triliun, yang berasal dari berbagai komponen.
"Kerugian dari ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun; kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/broker sekitar Rp2,7 triliun; kerugian impor BBM melalui DMUT/broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi pada 2023 sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi 2023 sekitar Rp21 triliun," tegas Harli.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.